Artis Sarwendah membagikan kisah haru di balik kepergian sang ayah, Hendrik Lo, yang meninggal dunia pada Sabtu (19/7/2025) pagi di usia 63 tahun karena komplikasi batu empedu. Di tengah suasana duka, Sarwendah mengungkap bahwa sang ayah sempat menyampaikan keinginan untuk dikremasi sebelum menghembuskan napas terakhir.
Namun, keinginan tersebut ternyata memicu perdebatan kecil di dalam keluarga, khususnya antara ayah dan ibu Sarwendah. Sang ibu sempat memiliki pandangan berbeda—ia lebih condong agar jenazah dimakamkan secara dikubur. “Jadi Papi dan Mami aku memang sempat debat,” ungkap Sarwendah saat ditemui di rumah duka Grand Heaven, Pluit, Jakarta Utara, pada Rabu (23/7/2025).
Sebagai anak, Sarwendah memilih mengambil jalan tengah. Ia menghormati keputusan kedua orangtuanya, dan berusaha mencari pilihan terbaik yang bisa menyatukan keinginan mereka. “Setelah Mami tenang, aku tanya ‘mau dikubur atau dikremasi’, aku ikutin aja, cariin yang terbaik,” katanya.
Saat keluarga mengunjungi lokasi kremasi, suasana mulai berubah. Sarwendah menceritakan bahwa setelah melihat langsung tempatnya, sang ayah terlihat setuju. Bahkan ibunya pun akhirnya mendukung keputusan tersebut dengan membeli slot kremasi pasangan. “Pas kita cari, lihat tempatnya, ternyata Papi suka kalau dikremasi. Mami juga beli yang double,” ucapnya.
Prosesi kremasi berlangsung pada pukul 11.18 WIB, didahului dengan ibadah kebaktian yang diikuti oleh keluarga besar. Seusai kremasi, Sarwendah dan adik-adiknya turut melaksanakan prosesi linwuk, tradisi Tionghoa yang umum dilakukan dalam rangkaian upacara kedukaan, dengan membakar lembaran kertas simbolik sebagai bentuk penghormatan terakhir.
Rencananya, abu jenazah Hendrik Lo akan dilarung ke laut di sekitar wilayah Jakarta. Prosesi larung tersebut akan dilakukan secara tertutup, hanya dihadiri keluarga dan orang-orang terdekat. “Mungkin yang lebih intimate, karena kapalnya juga cuma untuk 70 orang. Jadi enggak bisa semua ikut. Keluarga aja sudah besar, jadi hanya beberapa temannya saja,” tutur Sarwendah.
Kisah ini menjadi potret bagaimana perbedaan dalam keluarga dapat disatukan lewat kasih, penghormatan, dan penghargaan terhadap keputusan orang yang dicintai di akhir hayatnya.