Masih terjaga dalam ingatan masyarakat adat Raja Ampat bahwa manusia dan alam adalah satu kesatuan. Sejak dulu, leluhur mereka menetapkan “kontrak alami” agar sumber daya alam tetap lestari—manusia menjaga alam, dan alam meneruskan kehidupan peradaban.
Praktik tradisional seperti sasi menjadi benteng pelestarian. Di Misool, beberapa kampung adat seperti Kapatcol, Aduwei, dan Salafen menetapkan larangan tertentu—dalam ruang dan waktu tertentu—untuk mengambil kerang, lobster, teripang, atau biota laut lainnya. Setelah beberapa bulan dilarang, sumber daya ini hanya boleh dipanen saat sasi dibuka, biasanya dalam beberapa hari. Bila dilanggar, kepercayaan adat memperingatkan bencana atau kutukan adat, termasuk penyakit bagi pelanggarnya.
Disertasi Nurdina Prasetyo (2019) menunjukkan bahwa pengelolaan sasi laut, melalui kesepakatan adat dengan operator ekowisata, memungkinkan masyarakat lokal tetap mengakses hasil laut untuk kebutuhan pangan dan pariwisata secara berkelanjutan
Kelompok perempuan Waifuna di Kapatcol kini aktif menghidupkan kembali tradisi sasi. Bersama LSM konservasi, mereka sukses menerapkan kembali aturan adat yang sempat diabaikan. Hasilnya nyata: panen laut saat pembukaan sasi masuk di pelelangan lokal dan bernilai tinggi.
Pemerintah Kabupaten Raja Ampat turut mendukung. Kini mereka tengah memetakan kawasan sasi sebagai upaya konservasi berbasis pengetahuan tradisional. Sementara itu, sektor pariwisata di bawah pengawasan Dinas Pariwisata lokal tumbuh pesat, dengan kunjungan wisatawan naik 61 % pada 2024 dibanding 2023. Namun, pembangunan infrastruktur turisme terus berlangsung, dan ancaman ekologis tetap menghantui.
Di sisi lain, industri ekstraktif—pertambangan nikel, batu bara, dan minyak—mulai merambah wilayah kecil Raja Ampat. Setidaknya empat perusahaan nikel telah beroperasi, dan hal ini memicu kekhawatiran besar karena dapat merusak ekosistem hutan dan laut. Persatuan Pelaku Usaha Wisata tegas menyatakan, “Kami tidak makan dari hasil tambang”, dan mendorong pemerintah mencabut izin pertambangan
Masyarakat adat juga menuntut kehadiran “ekokrasi”: kebijakan lingkungan yang melibatkan langsung adat sebagai penjaga alam. Model sasi yang telah terbukti menguntungkan—baik secara ekonomi maupun ekologis—menjadi contoh kolaborasi adat-LSM-pemerintah yang berpotensi menyeimbangkan kebutuhan konservasi dan kesejahteraan lokal.
Dengan mempraktikkan aturan alam dan kearifan lokal, Raja Ampat menunjukkan alternatif peradaban modern: mengambil manfaat dari alam tanpa merusak, dengan sasi sebagai jembatan antara tradisi dan ekonomi masa kini.