Imron Fauzi sudah siap menjalankan tugasnya ke Tanah Suci. Ia adalah satu dari empat petugas haji daerah (PHD) Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, yang ditetapkan untuk mendampingi 860 calon jemaah haji (CJH) tahun 2025. Namun, saat jemaah lain mulai sibuk persiapan akhir, koper disusun, dan undangan manasik beredar, Imron justru mendapati dirinya “hilang” dari daftar. Tanpa kabar. Tanpa konfirmasi. Tanpa panggilan tugas.
Masalahnya? Uang. Lebih tepatnya, BIPIH—Biaya Perjalanan Ibadah Haji—yang tahun ini ditetapkan sebesar Rp 94.934.259. Sebuah angka fantastis yang diminta juga kepada para petugas.
Imron menolak membayar. Bukan karena tak mau, katanya, tapi karena merasa itu bukan kewajibannya. Ia berpegang pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 Pasal 25 Ayat (3), yang menyebut bahwa biaya operasional petugas haji daerah seharusnya dibebankan kepada APBD. Bahkan, menurutnya, dua Keputusan Menteri Agama (KMA) tahun 2025—nomor 166 dan 167—menguatkan dasar hukumnya.
“Lima tahun aturan itu berlaku. Sekarang tiba-tiba saya diminta bayar sendiri?” ujar Imron, warga Desa Tempeh Tengah, Kecamatan Tempeh, dengan nada kecewa.
Kekecewaannya tak berhenti di situ. Saat ia hendak mengambil hasil pemeriksaan kesehatan sebagai bagian dari proses keberangkatan, ia malah diminta untuk lebih dulu melunasi BIPIH. Karena menolak, semua proses berhenti. Ia tak pernah lagi dihubungi. Tak diundang manasik. Tak disebut saat pelepasan jemaah di Pendopo.
Di situ ia sadar, ia telah dikeluarkan—secara diam-diam.
“Saya ditetapkan oleh negara sebagai petugas, tapi malah dicoret begitu saja. Ini tidak adil,” kata Imron.
Kepala Kemenag Lumajang, Ahmad Faisol Syaifulloh, membenarkan bahwa Imron batal berangkat karena tak melunasi biaya. Namun ia enggan menanggapi soal siapa yang seharusnya membayar, karena, katanya, hal itu menjadi ranah pemerintah daerah.
Sekretaris Daerah Lumajang, Agus Triyono, mengaku bahwa pihaknya memang belum menganggarkan biaya untuk petugas haji daerah tahun ini. Ia berdalih, meskipun program itu sudah lama ada, pihaknya baru mengetahui aturan pendanaan tersebut sekitar tiga bulan terakhir.
"Penganggaran untuk PHD akan kami mulai tahun depan, lewat APBD 2026," ucap Agus, sembari mengakui ini adalah pelajaran penting bagi Pemkab.
Sementara tiga petugas lainnya dari Lumajang tetap berangkat. Mereka membayar sendiri biaya haji, dengan segala konsekuensinya. Imron memilih tetap berdiri pada prinsipnya—meski harus mengorbankan keberangkatan yang sudah lama ia siapkan.
Dari empat yang ditugaskan, hanya tiga yang naik pesawat ke Tanah Suci. Dan satu yang tertinggal, bukan karena gagal dalam seleksi, tapi karena menolak membayar yang menurutnya bukan tanggung jawabnya.