Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menjatuhkan putusan penting terkait kasus kebakaran lahan yang melibatkan PT Banyu Kahuripan Indonesia (PT BKI). Perusahaan sawit tersebut dinyatakan bersalah dan diwajibkan membayar ganti rugi sebesar Rp 282 miliar atas kerusakan lingkungan hidup yang ditimbulkan dari kebakaran seluas 3.365 hektare di lahan konsesinya.
Putusan ini merupakan hasil dari sebagian gugatan yang dikabulkan oleh majelis hakim atas tuntutan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), yang mengajukan perkara sejak Oktober 2024 di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Deputi Penegakan Hukum Lingkungan Hidup KLH, Rizal Irawan, menjelaskan bahwa kebakaran yang terjadi di Desa Karang Agung, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan pada 2023 telah menimbulkan kerusakan ekologis serius. Dampaknya tidak hanya merusak tanah dan ekosistem, tetapi juga memicu polusi udara, mengancam keanekaragaman hayati, dan menghambat upaya pencapaian target Folu Net Sink 2030 dalam agenda iklim nasional.
"Putusan ini menjadi pelajaran penting bagi setiap pelaku usaha agar tidak melakukan pembukaan atau pengolahan lahan dengan cara membakar," ujar Rizal dalam keterangannya, Sabtu (12/7/2025). Ia menekankan pentingnya prinsip kehati-hatian dan tanggung jawab penuh dalam pengelolaan lahan usaha.
Dari total ganti rugi yang dijatuhkan, kerugian ekologis mencakup sejumlah aspek penting: penyimpanan air senilai Rp 215 miliar, pengaturan tata air Rp 100 juta, pengendalian erosi Rp 4,1 miliar, pembentuk tanah Rp 168 juta, pendaurulangan unsur hara Rp 15 miliar, pengurai limbah Rp 1,4 miliar, keanekaragaman hayati Rp 9 miliar, sumber daya genetik Rp 1,3 miliar, pelepasan karbon Rp 681 juta, serta penurunan karbon sebesar Rp 238 juta.
Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup KLH, Dodi Kurniawan, menyatakan bahwa keputusan ini mencerminkan komitmen pemerintah dalam menindak tegas pelaku pembakaran lahan. Ia juga menegaskan KLH akan terus memperjuangkan gugatan perdata lingkungan hidup demi menjaga keberlanjutan fungsi ekologis Indonesia.
"Kami berpegang pada prinsip ex aequo pro natura—keadilan demi alam. Tidak boleh ada toleransi bagi siapa pun yang membiarkan kerusakan lingkungan terjadi," tegasnya.