Anggota Komisi IV DPR, Riyono Caping, menyampaikan keprihatinan mendalam atas maraknya praktik peredaran beras oplosan yang telah menimbulkan kerugian besar bagi negara. Ia mengungkapkan bahwa praktik ini berdampak sangat serius, baik secara ekonomi maupun sosial, dengan kerugian yang ditaksir mencapai Rp 99 triliun per tahun.
Dalam keterangan tertulisnya pada Senin (14/7/2025), Riyono menyatakan bahwa peredaran beras oplosan tidak hanya merugikan konsumen secara langsung, melainkan juga mencederai perjuangan para petani lokal. Ia menilai para petani Indonesia telah bekerja keras menghasilkan beras berkualitas tinggi pada musim panen kali ini, namun jerih payah mereka justru dinodai oleh praktik kecurangan di pasar.
"Ini sangat merusak. Tidak hanya merugikan konsumen, tapi juga menciderai perjuangan petani kita yang sudah menghasilkan beras berkualitas tinggi musim ini," ujarnya.
Menurutnya, petani seharusnya menjadi pihak yang paling dilindungi oleh negara. Mereka layak mendapatkan penghargaan atas capaian produksi yang dicapai, termasuk melalui harga jual yang baik untuk Gabah Kering Panen (GKP), Gabah Kering Giling (GKG), maupun beras di pasaran. Riyono menilai bahwa harga yang pantas merupakan bentuk apresiasi konkret atas kerja keras petani sekaligus kunci meningkatkan kesejahteraan mereka.
Namun di sisi lain, maraknya praktik beras oplosan justru menunjukkan lemahnya peran negara dalam mengelola sistem perberasan nasional. Riyono mengkritik lemahnya pengawasan dan kontrol pemerintah dalam tata niaga beras, serta menyerukan perlunya kehadiran negara secara nyata untuk menghindari dominasi pasar oleh pemain-pemain swasta besar.
"Negara tidak boleh hanya menjadi penonton. Minimal negara harus mengendalikan 20 persen hingga 50 persen dari pasar beras, agar distribusi dan tata niaga tidak dikuasai oleh segelintir pemain swasta," tegas politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Sebelumnya, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman juga mengungkapkan bahwa praktik pengoplosan beras sudah menyusup hingga ke rak-rak supermarket dan minimarket. Ia menyebut bahwa beras yang dikemas seolah-olah premium ternyata tidak sesuai dengan kualitas dan kuantitas yang tertera di label. Hal ini dianggap sebagai bentuk penipuan terhadap konsumen sekaligus ancaman serius bagi integritas sektor pangan nasional.
Temuan ini merupakan hasil investigasi Kementerian Pertanian bersama Satuan Tugas (Satgas) Pangan. Dari hasil penyelidikan, teridentifikasi sebanyak 212 merek beras yang tidak memenuhi standar mutu nasional. Pelanggaran tersebut meliputi manipulasi berat kemasan, kandungan komposisi beras, hingga keterangan mutu yang menyesatkan.
Pemerintah telah menindaklanjuti hasil temuan ini dengan melaporkan kasus tersebut secara resmi kepada Kapolri dan Jaksa Agung. Diharapkan, proses penegakan hukum dapat berjalan cepat dan memberikan efek jera kepada para pelaku yang terlibat.
Praktik beras oplosan yang kian merajalela menjadi cermin ketidakberesan dalam sistem distribusi pangan nasional. Seruan dari legislatif maupun eksekutif menjadi penanda bahwa sudah saatnya negara mengambil langkah lebih tegas dan menyeluruh dalam melindungi hak-hak konsumen serta memulihkan martabat para petani Indonesia.